Ads 728x90px


Hasil Tes DNA Raja Fir'aun





Mesir akan segera mengumumkan hasil tes DNA raja (Firaun) Mesir kuno, Tutankhamun. Tes DNA ini untuk menjawab misteri berkepanjangan mengenai garis keturunan Firaun yang di media Barat lebih dikenal dengan sebutan King Tut.

Dalam konferensi pers, Minggu 31 Januari 2010, arkeolog Zahi Hawass mengatakan, hasil tes DNA dan mesin pemindai CAT-scan akan diungkapkan ke publik pada 17 Februari mendatang. Hasil itu akan dibandingkan dengan DNA milik Raja Amenhotep III, yang diyakini sebagai kakek Tutankamun.

Upaya pencocokan DNA ini merupakan bagian dari program uji DNA terhadap ratusan mumi untuk menentukan identitas dan hubungan kekerabatan mereka. Dengan cara ini, garis keturunan Tutankhamun bisa diketahui.

Identitas orang tua King Tut belum benar-benar diketahui. Sebagian besar ahli yakin dia adalah putra Akhenaten, firaun dari Dinasti ke-18 yang mencoba memperkenalkan paham monoteisme kepada penduduk Mesir kuno hampir 3.500 tahun lalu, dan Ratu Kiya. Namun, pakar sejarah lain percaya bahwa Tut adalah putra firaun yang kurang dikenal yang menjadi pengikut Akhenaten.

Tutankhamun termasuk raja-raja terakhir dari Dinasti ke-18 Mesir Kuno. Dia memerintah ketika Mesir mengalami gonjang-ganjing saat paham monoteisme Akhenaten berakhir dan kekuasaan kembali ke pendeta-pendeta dewa-dewi Mesir kuno yang jumlahnya sangat banyak.

Arkeolog Hawass mengumumkan rencana ambisiusnya untuk melakukan uji DNA terhadap semua mumi Mesir, termasuk tes DNA pada semua mumi kerajaan dan sekitar 20 mumi yang telah teridentifikasi disimpan di Museum Mesir di Kairo. (AP)

Penyebab kematian firaun Mesir yang paling populer, Raja Tutankhamun, akhirnya terungkap. Setelah dua tahun uji DNA dan CT scan pada mumi Raja Tut, dia dipastikan tewas karena komplikasi luka di kaki dan diperparah oleh penyakit malaria.
Kenyataan lain yang terungkap, kemungkinan orang tua Tut adalah sepasang kakak adik.

Studi DNA dan CT scan itu dipublikasikan dalam terbitan Journal of the American Medical Association, Rabu, 17 Februari 2010. Dua tahun pengujian terhadap mumi Tut, yang berusia 3.300 tahun, dan 15 mumi lain membantu mengakhiri mitos seputar firaun itu, yang masih berusia 10 tahun saat diangkat menjadi raja.

Meski hanya memerintah Mesir selama sembilan tahun, Tut menarik perhatian publik. Kuburannya dipenuhi perhiasan dan artifak, termasuk topeng pemakaman yang terbuat dari emas, pada tahun 1922.

Studi menyebutkan bahwa Firaun Akhenaten, raja yang berupaya mengubah paham religius Mesir dari memuja banyak dewa menjadi satu dewa, sebagai ayah kandung Tut. Ibunya adalah salah satu adik perempuan Akhenaten.

Tut dinobatkan menjadi firaun pada usia 10 tahun pada 1333 Sebelum Masehi (SM). Dia memerintah selama sembilan tahun di masa-masa penting dalam sejarah Mesir Kuno.

Spekulasi berkembang terkait kematiannya pada usia 19 tahun. Sebuah lubang di tengkoraknya menambah spekulasi bahwa dia dibunuh. Hingga hasil CT scan tahun 2005 menunjukkan bahwa lubang tersebut kemungkinan diperoleh dari proses mumifikasi. Scan juga mengungkap kondisi patah tulang kaki yang dialami Tut.

Tes terbaru memberikan gambaran bahwa firaun memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah karena penyakit bawaan. Kematiannya disebabkan komplikasi patah tulang dan malaria akut. DNA parasit malaria ditemukan di beberapa mumi.

"Patah tulang kaki karena jatuh kemungkinan menimbulkan kondisi menjadi berbahaya ketika infeksi malaria terjadi," tulis artikel tersebut.
"Tutankhamun mengidap beberapa kelainan. Dia dibayangkan sebagai sosok muda, tetapi raja itu berada dalam kondisi lemah hingga memerlukan tongkat untuk berjalan."

Sumber : vivanews.com


(KeSimpulan) Salah satu misteri sejarah terbesar yaitu silsilah keluarga firaun (pharaoh) dari seorang anak laki-laki Raja Tut akan dapat segera diselesaikan. Zahi Hawass, kepala Egypt's Supreme Council of Antiquities, mengumumkan pada hari Minggu saat akan mengadakan konferensi pers pada tanggal 17 nanti sampai diungkapnya hasil tes DNA yang akan menjadi yang terbesar di dunia untuk dinasti firaun yang paling terkenal.

Pengumuman yang telah lama ditunggu-tunggu "tentang rahasia keluarga dan afiliasi Tutankhamun berdasarkan hasil pemeriksaan ilmiah dari mumi Tutankhamun melalui analisis DNA," kata Hawass. Hasil DNA King Tut kemungkinan besar dibandingkan dengan Raja Amenhotep III, kakek Tutankamen.

Tahta Firaun Mesir kuno yang paling terkenal, Raja Tut telah membingungkan para egytolog sejak mumi-nya beserta harta dikemas dalam makam yang ditemukan pada tahun 1922 di Lembah Para Raja (Valley of the Kings) oleh arkeolog Inggris Howard Carter. Hanya beberapa fakta tentang hidupnya yang telah diketahui.

Sementara ia tinggal di Amarna, namanya Tutankhaton ("menghormati Aton", dewa matahari). Ketika ia naik tahta pada tahun 1333 SM saat itu berusia sembilan tahun dan pindah ke Thebes, ia mengubah namanya menjadi Tutankamun ("menghormati Amun", pemujaan tradisional). Ia menikahi Ankhesenpaaten yang berusia, putri dari Akhenaten dan Nefertiti, kemudian dia naik tahta.

Sebagai laki-laki terakhir dalam keluarga, kematiannya pada tahun 1325 SM saat berumur 19 tahun mengakhiri dinasti ke-18 (mungkin dinasti terbesar dari keluarga kerajaan Mesir kuno) dan memberi jalan untuk penguasa militer.

Apa yang menimpa pada sebuah keluarga yang memiliki kuasa berlangsung selama hampir 200 tahun? Apakah dinasti terlibat dalam begitu banyak inses sehingga mereka mati akibat penyakit genetik? Dalam upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan lainnya, dilakukan analisis laboratorium DNA seharga US$5 juta oleh Egyptian Museum dengan pendanaan dari Discovery Channel.

Otoritas Mesir kuno merencanakan untuk meneliti DNA pada ratusan mumi Mesir, termasuk semua mumi kerajaan dan hampir dua lusin orang tidak dikenal yang tersimpan di Egyptian Museum di Cairo. Proyek ini dimulai pada tahun 2008, dengan sampel yang diambil dari mumi Tutankhamun dan dari dua janin yang ditemukan dari makam.

Egyptolog telah lama memperdebatkan apakah janin ini adalah anak-anak yang lahir mati dari Raja Tut dan istrinya Ankhesenpaaten yang telah mengubah namanya menjadi Ankhesenamun, atau jika mereka ditempatkan di dalam kubur dengan maksud untuk kemungkinan simbolis anak raja yang hidup sebagai bayi yang baru lahir di akhirat. Sedangkan King Tut telah dipercaya sebagai salah satu putra raja kecil atau keturunan Smenkhkare Amenhotep III, ayah dari firaun "penyesat" Akhenaten (1353-1336 SM).

Teori lain menyarankan bahwa Raja Tut siri Akhenaten, revolusioner firaun yang mendirikan ibu kota kerajaannya di Amarna, memperkenalkan agama monoteistik yang menggulingkan panteon para dewa untuk menyembah dewa matahari Aton.

Keraguan juga tetap meneyelimuti ibu Raja Tut. Para ahli telah lama memperdebatkan apakah dia adalah anak dari Kiya (istri selir Akhenaten) atau Ratu Nefertiti (istri Akhenaten yang lain).

Analisis DNA pada janin bisa membantu menjelaskan siapa ibu dari si anak raja dan menentukan apakah Ankhesenamun adalah saudara perempuan jauh Raja Tut atau saudara kandung. "Jika DNA janin cocok dengan DNA King Tut dan DNA Ankhesenamun, maka kita akan tahu bahwa mereka berbagi ibu yang sama," kata Hawass.

Bukti bahwa Tutankhamun adalah anak dari Akhenaten telah datang dari inskripsi fragmen kapur oleh Hawass pada Desember 2008 yang menunjukkan bahwa Tutankhamun muda dan istrinya, Ankhesenamun, duduk bersama-sama. Tutankhamun mengidentifikasi teks sebagai "anak raja dari tubuhnya, Tutankhaten," dan istrinya sebagai "putri raja tubuhnya, Ankhesenaten." Menurut Hawass, "satu-satunya raja kepada siapa teks dapat merujuk sebagai ayah dari kedua anak adalah Akhenaten."

Menurut Frank Rühli, biopaleopatolog dari Swiss dan kepala Mummy Swiss Project di University of Zurich, bahwa hasil DNA akan menjadi yang terdepan tidak hanya menarik arkeolog tetapi juga peneliti biomedis. "Saya tidak akan terkejut jika Raja Tut dan Amenhotep III terkait. Namun, silsilah mungkin rumit. Analisis DNA kuno sulit, terutama dari mumi Mesir, sehingga penelitian biasanya direplikasi kedua di laboratorium secara independen," kata Rühli yang berpartisipasi pada tahun 2005 saat analisis CT scan Tutankhamun.

sumber : kesimpulan.com

Raja Tut bisa dibilang adalah firaun paling populer. Para ilmuwan berusaha menebak mengapa ia mati muda. Salah satu dugaan yang muncul adalah bahwa Raja Tut meninggal akibat malaria dan kelainan tulang, itulah hasil dari analisa DNA mumi terkini.

Firaun Tutankhamun adalah firaun paling populer. Ia merupakan bagian dari dinasti ke-18 dari Kerajaan Baru Mesir, yang bertahan kira-kira dari 1550 - 1295 SM. Firaun cilik itu meninggal pada tahun kesembilan dari pemerintahannya, sekitar 1324 SM, pada usia 19 tahun.

Karena Tutankhamun mati muda dan tak memiliki ahli waris, maka muncul banyak spekulasi tentang kematiannya, termasuk tentang penyakit menurun di keluarga kerajaan tersebut.

Analisa DNA mumi termutakhir mencoba mendeteksi tanda-tanda penyakit - baik yang sifatnya menurun atau bukan - yang mungkin menyebabkan tewasnya Raja Tut. Tes DNA juga telah memberi kepastian lebih tentang identitas dan korelasi beberapa mumi yang sebelumnya ditemukan, dua diantaranya diduga orang tua Raja Tut.

Dari barang-barang peninggalan diduga bahwa keluarga raja di masa itu memiliki ciri-ciri yang agak kemayu atau androgynous, alias penampilannya tak jelas apakah pria atau wanita. Bahkan diduga adanya kelainan gynecomastia, yaitu pembesaran buah dada pada pria yang biasanya disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon; dan sindrom Marfan, yaitu sindrom dimana para penderitanya memiliki tangan dan kaki yang abnormal panjangnya, jemarinya sangat ramping, dan biasanya mereka juga menderita kelainan jantung.

"Tapi kebanyakan diagnosa penyakit ini disimpulkan dari pengamatan artefak, dan bukan dengan mempelajari sisa mumi keluarga bangsawan," kata seorang ilmuwan yang ikut dalam analisa itu.

Zahi Hawass, ketua Dewan Tertinggi Kepurbakalaan Kairo, Mesir, dan para koleganya melakukan penelitian untuk menentukan korelasi antara 11 mumi keluarga kerajaan dari masa Kerajaan Baru Mesir, dan juga untuk mencari petunjuk akan adanya penyakit yang diturunkan secara genetis, yang ditularkan, atau akibat hubungan darah.

Para peneliti juga mencari bukti penyebab kematian Tutankhamun. Sejumlah peneliti lain sempat membuat hipotesa bahwa kematiannya akibat luka, septicemia (infeksi aliran darah), atau embolisme lemak (pelepasan lemak ke dalam arteri) setelah terjadinya kerusakan tulang paha, bahkan juga mungkin karena dibunuh dengan pukulan di belakang kepala, atau karena diracun.

Sejak September 2007 hingga Oktober 2009, mumi-mumi bangsawan itu diteliti menyeluruh secara antropologis, radiologis, dan genetika. DNA diambil dua hingga empat kali untuk tiap mumi. Hasil analisa menunjukkan, ternyata tak ditemukan tanda-tanda gynecomastia ataupun sindrom Marfan.

"Penggambaran orang dalam seni di masa Amarna merupakan gaya yang dipesan oleh para bangsawan sendiri, mungkin karena adanya aturan keagamaan dari Akhenaten (yang diduga adalah ayah Tut)," kata sang peneliti.

"Rasanya tak mungkin bila Tutankhamun atau Akhenaten memiliki penampilan yang terlalu feminin. Harus diingat bahwa raja-raja Mesir kuno beserta keluarganya biasanya digambarkan dengan gaya yang di-'ideal'-kan," tambahnya.

Tapi para peneliti DNA itu memang menemukan sejumlah kejanggalan fisik dalam keluarga Tutankhamun. "Beberapa kelainan terdiagnosa pada Tutankhamun, termasuk kelainan Kohler (kelainan tulang); tapi kejanggalan-kejanggalan itu tidak fatal."

Bekas genetik parasit penyebab malaria ditemukan pada beberapa mumi tersebut, termasuk pada mumi Raja Tut. Penelitian genetik itu memberi indikasi bahwa terjadi malaria sekaligus dengan kondisi tubuh yang menyebabkan kekurangan darah pada tulang, sehingga bagian tulang tertentu menjadi rusak. Kerusakan tulang itulah yang membunuh Raja Tut.

"Kelumpuhan dan malaria yang diderita Tutankhamun terbukti dari ditemukannya tongkat dan persediaan obat-obatan di makamnya," kata peneliti.

Harus diingat bahwa orang Mesir cenderung percaya bahwa barang-barang dalam makam akan digunakan pada kehidupan selanjutnya. Para ilmuwan juga menduga bahwa mungkin sang raja terjatuh sehingga kakinya mendadak patah, sehingga kondisi sang raja menjadi kritis, lalu ditambah pula dengan infeksi malaria. Penemuan ini dimuat dalam jurnal American Medical Association edisi 17 Februari.

Sumber : kompas.com


0 komentar:

Posting Komentar